karya : Nicken Sulistya
Sore itu, gerimis masih memayungi
kota ini. Mendung gelappun masih menyelimuti, hingga dingin yang terasa.
Matahari seakan terbungkus mega yang muram, air langitpun masih menitik disela
sela dedaunan. Terlihat beberapa orang sedang berjalan kaki berlindung dibawah
payung, beberapa diantaranya menaiki kendaraan dengan menggunakan mantel bahkan
ada yang memakai sepatu boot. Emperan toko yang tadinya sepi itu kini dipenuhi
karyawan dan karyawati yang baru pulang kerja mencoba berteduh dari gerimis.
Sore ini hujan perdana turun
dikota ini, kota dimana aku tinggal sekarang. Namaku Naomi, aku bekerja sebagai
creative writer disalah satu media cetak. Posisi baru yang kudapatkan setelah 6
bulan aku bekerja sebagai pengumpul stok berita, kata supervisor kerjaku bagus
dan aku layak menempati posisiku yg sekarang. Sebagai creative writer, aku
hanya free lanch, tak jarang aku curi - curi kesempatan menulis di berbagai
media cetak yang lain, karena memang hobiku menulis.
Setiap hari hampir aku disibukkan
dengan pekerjaanku, managerku yang bernama Pak Sofyan menuntut aku harus
menulis dan menulis. Puncaknya adalah hari ini, baru saja aku dipanggil untuk
menulis artikel tentang cinta pandangan pertma. Terang saja managerku
menyuruhku untuk menulisnya, aku hampir saja melupakan artikel umum tersebut.
Kuayuhkan langkah kakiku yang
gontai, menapaki lorong - lorong kantor ini dan bergumam apa yang akan kutulis,
kutarik pintu ruang kerjaku dan berjalan terarah ke jendela.
"Apa yang akan kutulis,
sedangkan aku saja tidak pernah jatuh cinta. Ibu, baru aku sadari cukup lama
aku sendiri, hingga aku melupakan rasanya jatuh cinta."
Kuberanjak dari lamunanku dan
membereskan meja kerjaku, setelah kupastikan semua rapi bergegas aku pulang.
Kususuri emperan toko, kupandangi sekitar mencoba menerima indahnya alam
disenja ini, namun langkahku terhenti disebuah kafe kecil diseberang jalan.
Kutarik pintu kafe dan memesan
cappuccino panas untuk sekedar mengahangatkan tubuh. Kuambil bangku disudut
ruangan dekat dengan pintu kaca, sengaja kupilih karena ingin kunikmati hadiah
terindah dari-Nya "hujan".
Tak berapa lama kuteguk
cappucinoku, terlihat seorang pemuda seumuranku berdiri tepat didepan kafe.
Rambutnya yang berembun karena terkena buliran air hujan terlihat segar, namun
wajahnya tampak menyeringai menahan sakit. Kupandangi pemuda itu berkali -
kali, dan dari tangan yang terbalut jaket hitam itu aku melihat darah menetes
keluar. Betapa kasihan melihatnya yang setengah kebasahan, sepertinya Ia tengah
terluka.
"Kamu baik – baik
saja?" kutepuk pundaknya dan iapun kaget bak diintai musuh.
"Ah,kau mengagetkanku."
teriaknya sambil menghela nafas.
"Tangan kamu terluka?"
tanyaku mulai ingin tahu.
"Ah, tidak.. tidak sedang
terluka." ia berusaha menyembunyikan tangannya lebih dalam ke jaketnya.
"Tapi itu ada darah keluar
dari balik jaketmu, tanganmu terluka?"
"Ah, ternyata kau
melihatnya. Iya. Hm tadi barusan jatuh didekat situ."
"Kenapa dibiarkan? itu harus
dicuci bekas lukanya, ayo ikut aku ke dalam."
"Ikut denganmu?"
Tanpa banyak kata, kutarik tangan
dingin itu masuk ke kafe tidak ada perlawanan darinya seolah mengiyakan saja
mauku. Sebelum kuobati kucuci tangannya di wastafell kafe. Dari bentuk lukanya
terlihat Ia baru saja memukul sesuatu, tapi dalam benakku itu bukan menjadi
urusanku. Kubawa pemuda itu kemejaku dan kuperban lukanya meski menggunakan
sapu tangan.
Selang berapa saat terjadi
perbincangan diantara kami dan mulai ku ketahui tentangnya. Namanya adalah
Arda, dia salah satu pengajar musik di sebuah yayasan, meski terlihat
dandanannya asal – asalan, namun sangat pas dibadannya yang kurus dan tinggi
ditambah ia sangat menyenangkan. Baru sebentar saja kami saling bercengkrama
aku bisa langsung menyukainya. Matanya, senyumnya, cara berbicaranya tulus
sekali.
"Ibu, apakah seperti ini
cinta itu? Apa aku telah jatuh cinta? "
"kenapa Naomi? Tanpa sadar
Arda memperhatikanku yang diam – diam sejak tadi mulai mengamati setiap jengkal
wajahnya.
"Tidak apa – apa Arda. Ehm
aku harus pulang." elakku mencoba memalingkan pertanyaan Arda.
"Biar aku antar ya. Sebagai
tanda terimakasih." ku jawab permintaannya dengan menganggukan kepala
tanda aku mengiyakan permintaan Arda.
Semenjak kejadian tersebut,
durasi bertemu dengan Arda menjadi sangat sering, tanpa tersadar aku benar –
benar merasakan ada keganjalan dihati ini. Menjadi sering memikirkannya,
apalagi jantung ini yg berdetak lebih kencang layaknya kelinci yang melompat –
lompat kegirangan jika berada didekatnya.
"Ibu, aku benar – benar telah jatuh cinta. Kujatuhkan hatiku pada Arda. Aku benar – benar terbawa dalam kedalaman perhatiannya dan juga ketulusan sikapnya. Ibu aku tidak bisa menahannya, apakah ini cinta pandangan pertama itu?"
kurebahkan badanku pada kasur
empukku, kupandangi foto kusam yang semenjak tadi kupegang, diluar sana masih
terdengar bunyi gemericik hujan yang mengetuk - ngetukkan dirinya diantara
genting dan dahan. Beranjak aku bangun dan kuambil pena beserta secarik kertas.
"Ibu, kini aku sudah tumbuh dewasa, Ayah meski kau tidak berada disampigku dan memelukku aku bisa menjaga diriku dengan baik. Terimakasih untuk tangan yang telah mendekapku. Dari anakmu, Naomi."
Ku pungkasi surat yang baru saja
kutulis dan kulipat dalam sebuah amplop lengkap dengan perangkonya.
Kini pagi mulai menyibak, namun
mentari terlihat masih enggan menampakkan sinarnya. Sisa air hujan semalam
masih membekas direrumputan dan disela sela ranting. Mega yang gelap menuntunku
mengrimkan surat – suratku untuk Ayah dan Ibu kesebuah peraduan. Disana kulihat
telah ada yang berdiri tegap yang kuyakini itu Arda. Ya, aku dapat mengenali
punggung bidang itu. Sedang apa dia di tempat ini? Apakah ia juga ingin
mengirim surat? Namun kepada siapa?
"Arda?" sapaku agak
terkejut melihatnya
"Naomi?"
"Apa yang kau lakukan dengan
surat – suratku?" tanyaku memburu kepadanya.
"Jadi kamu yang menulis
surat – surat ini?"
"Iya!" jawabku singkat
sambil kuambil beberapa surat dari tas hendak kumasukkan ke tempatnya.
Namun Arda mencegah tanganku
"Kenapa kamu lakukan itu?
Naomi, Ayah dan Ibu kamu sudah tenang disana, hentikan melakukan hal seperti
ini. Ini hanya akan membuat beliau sedih!"
"Aku hanya melampiaskan
rinduku Arda. Apa salahnya dan apa urusan kamu?" kubentak Arda dengan
lantang, namun tiba - tiba saja Arda mendekap tubuh mungilku, ia memelukku
erat, jemarinya mengelus rambutku mencoba menenangkanku.
"Dimana letak salahku Arda?
Salahkah kukirim semua surat ini untuk Ayah Ibuku disana? Aku tak punya
siapapun Arda." Pelukan itu malah semakin erat mengunci tubuhku, hingga
bisa kurasakan degup jantung Arda, sungguh aku tak pernah berfikir setelah kecelakaan
5 tahun yang lalu ada tangan yang mendekapku dengan hangat lagi. Apa ini
jawaban atas doaku? Tuhan mengirimkan malaikat yang telah memelukku sekarang
ini.
"Aku selalu datang kesini
dan membaca surat – suratmu Naomi, dan semenjak itu aku sangat ingin bertemu
dengan orang itu, tapi aku tak pernah mendapatinya. Kau tahu aku sudah berjanji
untuk menjaganya, melindunginya, dan akan selalu bersamanya. Karena aku dapat
merasakan kesedihannya."
tak terasa buliran air mata yang
semenjak tadi kutahan dalam - dalam akhirnya ambrol juga, perlahan kubalas
pelukan Arda dan kutenggelemkan wajahku dipelukannya.
"Kamu tidak sendirian Naomi,
aku sama denganmu malah lebih parah. Ayahku terpidana korupsi dan ibuku...
"
"Ibumu kenapa Arda?"
perlahan Arda melepaskan pelukannya. Matanya nampak kosong mentap jauh ke sudut
permukaan bukit, Arda yang tadi terlihat begitu kuat tiba – tiba menjatuhkan
tubuhnya, airmata yang disembunyikannya rapat – rapat sudah jatuh bergulir
mengalir dipipinya. Kudekati dan kuhapus air mata itu.
"Kata orang orang Ibuku
tidak waras Naomi, sekarang Ibuku tinggal dirumah sakit jiwa. Sejak Ayah masuk
penjara Ibu menjadi stress dan depresi. Kata Dokter Ibu harus dirawat
disana."
"Ternyata kisah hidup kamu
lebih rumit ya Arda." Aku yang berada didepan Arda kini beralih duduk
disampingnya dan kita saling bersandar. Tak kusangka orang yang terlihat kuat
bisa bersedih. Tak kusangka Arda bisa menangis walau ia selalu nampak menjadi
pahlawanku.
Tiba – tiba kurasakan tangan Arda
gemetar, aku yang terkejut lalu menatap dalam kewajahnya.
Kulihat Arda tampak pucat, dan keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tangannya menggenggamku erat.
Kulihat Arda tampak pucat, dan keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tangannya menggenggamku erat.
"Naomi kita pulang sekarang
ya." pinta Arda tampak menahan sakit dan mencoba berdiri, namun sedikit
tersungkur dan aku memapahnya. Aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya. Ia
tampak sangat tidak sehat, wajahnya benar benar seperti kapas. Pucat. Kucarikan
Bis dan kuajak pulang.
"Arda kamu kenapa? Apa kamu
baik baik saja? Mana yang sakit?" tanyaku tanpa henti menghawatirkannya, namun
Arda seolah tak menghiraukanku. Seluruh badannya dingin, ia menahan sakit
sambil menggigit tanganya hingga berdarah. Kurengkuh Arda dibangku paling
belakang dan segera kuantar dia pulang.
Begitu sampai rumah kupanggil
kakaknya dan kubawa Arda kekamarnya. Kulihat kakaknya membawakan obat dan
meminumkannya. Ardapun tampak tenang dan tidur.
"Maaf Kak, Arda sakit
apa?" kakaknya hanya diam dan menangis sambil mebuang obat itu. Aku yang
kaget seketika tersudut diam dan memunguti obat itu.
"Jangan ambil obat
itu!!!" teriak kakak Arda.
"Kenapa kak? Suaraku sedikit
terbata bata melihat emosi kakak Arda.
"Obat itu yang membuat Arda
seperti itu. Lihat Arda seperti orang bodoh, dia dikendalikan oleh obat –
obatan terlarang itu!" mendengar kata "obat terlarang" aku
bagaikan disambar petir bertubi – tubi, nafas ini menjadi sesak, suara ini
terasa enggan keluar, seperti tersedak buah nanas yang berduri. Tubuh ini
rasanya sangat lemas.
Kuhampiri Arda ditempat tidurnya.
Kupandangi wajah melas itu dan tak henti menggenggam tanganya yang telah
terbalut sapu tangan dariku untuk kedua kalinya. Dalam relungku bertanya
mengapa? Seakan aku tak percaya bahwa orang yang kusukai menggunakan obat
terlarang itu.
"Hai Arda.. " sapaku
kepadanya saat melihat ia mulai membuka matanya.
"Naomi? Aku... aku minta
maaf."
"Maaf?" bagaimana
keadaanmu?" ku usap lembut keningnya dan kueratkan genggaman tanganku yang
sejak tadi dipeganginya.
"Tangan kamu masih sakit?
Lain kali jangan lakukan itu lagi ya?"
"Maaf Naomi, inilah aku, aku
buruk. 3 tahun silam aku menggunakannya hingga detik ini aku tak bisa
menjauhinya. Hidupku sudah tidak terarah ketika 3 tahun yang lalu keluargaku
bernatakan. Hanya ini yang menenangkanku."
"Jadi apa yang kau pukul
waktu pertama kita bertemu?"
"Kaca didekat kafe itu. Maaf
pertermuan kita buruk dan lebih buruknya aku tidak memberi tahumu.
Obat itu sudah meracuniku."
aku hanya mencoba tersenyum saat Arda menatapku, aku tahu apa yang ia pikirkan.
Ia pasti mengira aku jijik dan membencinya, namun hati ini masih mengatakan aku
menyukainya.
"tidurlah, kau harus banyak
istirahat!" pintaku kepadanya sambil kutarik selimut untuk
menghangatkannya.
"Aku pulang ya? Besok aku
kesini lagi. "
"Kau marah padaku? Tanya
Arda yang untuk kesekian kali merengkuh jari – jari mungilku
seakan takut aku tinggal.
seakan takut aku tinggal.
"Marah? Bagaimana bisa aku
memarahimu? Kau ini orang yang kebal dimarahi. Iya kan?" ku tarik hidung
mancung Arda untuk menghiburnya.
"Terimakasih Naomi. Ini
sudah malam, tidurlah dikamar sebelah dan pulanglah besok pagi. Aku tidak bisa
mengantarmu pulang."
"Kalau begitu aku disini
saja. Kau tidur sana. Biar aku menjagamu." aku lalu duduk disamping Arda.
"Tidak. Aku tidak perlu dijaga. Kau ke kamar sebelah saja ya dan lekas tidur." mendengar Arda meminta dengan lembut aku tidak bisa mengelak. Aku segera bangkit dan tidur dikamar sebelah Arda. Meskipun aku berpura pura tenang, namun aku tidak bisa membohongi bahwa aku mengkhawatirkannya.
"Tidak. Aku tidak perlu dijaga. Kau ke kamar sebelah saja ya dan lekas tidur." mendengar Arda meminta dengan lembut aku tidak bisa mengelak. Aku segera bangkit dan tidur dikamar sebelah Arda. Meskipun aku berpura pura tenang, namun aku tidak bisa membohongi bahwa aku mengkhawatirkannya.
Dan ternyata kekhawatiran itu
benar terjadi, belum sampai 2 jam aku meninggalkannya sudah terdengar suara Arda
yang meraung kesakitan. Bergegas kuberlari ke arah pintu Arda, namun tangan ini
serasa tak sanggup hanya sekedar mendorong gagang pintu. Tubuh ini seakan
lemas, kedua kakiku tidak bisa tegak berdiri, sedangkan teriakan Arda semakin
kencang memanggil namaku dan juga kakaknya. Hanya sekejap saja tubuhku sudah
tersungkur sambil memegangi gagang pintu mencoba menahan agar Arda tidak
keluar, namun kulihat kakaknya hendak masuk membawakan obat haram itu lagi. Ku
rebut obat itu dan kubuang.
"Jangan berikan lagi pada
Arda kak. Kasihan." setelah cukup tenaga kubuka pintu kemudian mengambil
kunci lantas kukunci rapat – rapat Arda dari luar, sedang Arda memohon – mohon
padaku. Air mata ini sudah tak terbendung lagi, semua pertahanan ini serasa tak
cukup. Dengan segala kekuatan yang masih tersisa aku masuki kamar Arda. Kulihat
ia termenung disudut, begitu berantakan terlihat ia menahan sakit teramat
dalam, obat itu sudah merasuki seluruh darinya.
"Naomi?" Arda mencoba
mendekat padaku dengan berjalan sempoyongan.
"Naomi, obat itu Naomi.
Tolong.. " teriak Arda sambil memegangiku. Cengkramannya begitu kuat
ditanganku. Oh Arda, apa yang terjadi padamu? Kenapa? Kenapa harus melihatmu
tersiksa begini?
"Aku tidak akan memberikan obat itu lagi Arda, kamu harus sembuh."
"Aku tidak akan memberikan obat itu lagi Arda, kamu harus sembuh."
"Tapi Naomi."
"Kamu harus berjuang Arda,
demi aku. Kamu sudah berjanji untuk menjagaku kan? Bagaimana bisa kamu
menjagaku kalau kamu saja tidak bisa menjaga tubuhmu?"
''Aku memang tidak bisa Naomi.
Karena aku bukan malaikat, aku juga bukan Tuhan. Aku manusia biasa.
Mengertilah! Teriak Arda dihadapanku bersama rembesan air yang mengumpul
dimatanya, sedang aku semenjak tadi hanya bisa menangis bahkan serasa aku tidak
kuat lagi untuk mengeluarkan airmata ini. Rasa kaesal, sedih, marah semua
bergulat memenuhi rongga ini. Ingin kuberi cacian kepada orang didepan ini.
Orang yang kusayangi, yang kukasihi, namun lagi – lagi rasa sayang ini
mengalahkan segalanya.
"Dan satu lagi Naomi, kamu
bukan siapa – siapa. Kamu bukan keluargaku, tidak perlu kamu bersikap seperti
itu."
"Yang aku inginkan hanya
melihatmu sembuh Arda, karena aku... aku menyayangimu." dengan sisa
kekuatan kuungkapkan apa yang selama ini kupendam diiringi derasnya airmataku,
perasaan yang tak pernah Arda ketahui. Perasaan yang teramat dalam kepadanya.
"Mengertilah Arda, aku benar
– benar menyayangimu. Aku mempedulikanmu. Aku hanya ingin kamu sembuh. Hanya
itu. Berjuanglah!"
"Kau menyayangiku? Sungguh
Naomi?" Aku hanya menganggukkan kepala, karena aku tidak kuat lagi untuk
berbicara banyak. Arda kembali merengkuhku, bisa kurasakan tubuh lemasnya
memelukku membuatku hampir tersungkur namun aku tahan agar Arda tidak terjatuh.
"Aku akan sembuh Naomi, aku
berjanji akan sembuh untuk orang yang kusayangi. Terimakasih untuk kamu yang
tidak membenciku, terimaksaih Naomi" seperti mendapat sedikit cahaya
terang diantara kegelapanku saat kudengar Arda mengatakan hal itu. Sungguh aku
kagum kepadanya yang ingin berubah. Tidak sia – sia usahaku untuk tidak
membenci dan mencacinya.
*********
Terimakasih Arda, seperti apapun
kamu jangan pernah khawatir. Aku selalu disini bersamamu, menemanimu dan
menjadi teman hidupmu. Menjadi manusia yang selalu ada saat kau marah, kau
senang, kau sakit, bahkan saat obat – obat itu kembali meracunimu, aku akan
selalu berdiri untuk membantumu bangkit dari keterpurukan itu.
Ayah, Ibu.. ini aku Naomi.
Kukirimkan surat terakhir ini bersama Arda. Ayah, Arda adalah sosok seperti
Ayah, Ia kuat, Ia tegar dan selalu memelukku saat aku takut sendiri. Ibu, aku
telah mengerti sekarang bahwa jatuh cinta itu sangat indah apalagi mencintai
kekurangan seseorang dan telah kujatuhkan hatiku kepada Arda sejak saat pertama
kita bertemu.
Ayah, ibu sekarang akan kujalani
hidupku bersama Arda, hari ini aku akan mengantarnya kerehabilitasi. Semoga
Arda bisa menjadi manusia baru.
Terimakasih Ayah, Ibu. Dari
Anakmu, Naomi
"Naomi, kita berangkat
sekarang?" suara lembut Arda memanggilku segera kupungkasi surat ini dan
kumasukkan ke amplop.
"Iya Arda, kita mampir ke
pos ya?"
"Pos?"
"Iya, pos surat untuk Ayah
dan Ibuku. Pos surga!"
"Iya sayang."
Hari ini adalah hari terakhirku
dikota ini. Selanjutnya aku akan pindah bersama Arda sembari merawatnya selama
ia harus direhabilitasi. Tentang artikelku? Tentu saja sudah aku selesaikan
dengan rapi, dan baik, pak Sofyanpun sangat menyukainya. Ya, artikel itu
bercerita tentang keajaiban cinta, dimana cucu Adam dan Hawa dipertemukan dan
disatukan dengan berbagai keadaan dan itu adalah ceritaku bersama Arda.
Terimakasih Arda, kau telah
mengajariku untuk ikhlas dan mencintai segala kurang lebihmu.


Posting Komentar