Selamat datang di Komunitas gOOneman.Com

Love at First Sight, Love Is Strength.

Selasa, 21 Januari 20140 komentar

Love at First Sight, Love Is Strength.
karya : Nicken Sulistya



Sore itu, gerimis masih memayungi kota ini. Mendung gelappun masih menyelimuti, hingga dingin yang terasa. Matahari seakan terbungkus mega yang muram, air langitpun masih menitik disela sela dedaunan. Terlihat beberapa orang sedang berjalan kaki berlindung dibawah payung, beberapa diantaranya menaiki kendaraan dengan menggunakan mantel bahkan ada yang memakai sepatu boot. Emperan toko yang tadinya sepi itu kini dipenuhi karyawan dan karyawati yang baru pulang kerja mencoba berteduh dari gerimis.

Sore ini hujan perdana turun dikota ini, kota dimana aku tinggal sekarang. Namaku Naomi, aku bekerja sebagai creative writer disalah satu media cetak. Posisi baru yang kudapatkan setelah 6 bulan aku bekerja sebagai pengumpul stok berita, kata supervisor kerjaku bagus dan aku layak menempati posisiku yg sekarang. Sebagai creative writer, aku hanya free lanch, tak jarang aku curi - curi kesempatan menulis di berbagai media cetak yang lain, karena memang hobiku menulis. 

Setiap hari hampir aku disibukkan dengan pekerjaanku, managerku yang bernama Pak Sofyan menuntut aku harus menulis dan menulis. Puncaknya adalah hari ini, baru saja aku dipanggil untuk menulis artikel tentang cinta pandangan pertma. Terang saja managerku menyuruhku untuk menulisnya, aku hampir saja melupakan artikel umum tersebut.

Kuayuhkan langkah kakiku yang gontai, menapaki lorong - lorong kantor ini dan bergumam apa yang akan kutulis, kutarik pintu ruang kerjaku dan berjalan terarah ke jendela. 

"Apa yang akan kutulis, sedangkan aku saja tidak pernah jatuh cinta. Ibu, baru aku sadari cukup lama aku sendiri, hingga aku melupakan rasanya jatuh cinta."

Kuberanjak dari lamunanku dan membereskan meja kerjaku, setelah kupastikan semua rapi bergegas aku pulang. Kususuri emperan toko, kupandangi sekitar mencoba menerima indahnya alam disenja ini, namun langkahku terhenti disebuah kafe kecil diseberang jalan.

Kutarik pintu kafe dan memesan cappuccino panas untuk sekedar mengahangatkan tubuh. Kuambil bangku disudut ruangan dekat dengan pintu kaca, sengaja kupilih karena ingin kunikmati hadiah terindah dari-Nya "hujan".

Tak berapa lama kuteguk cappucinoku, terlihat seorang pemuda seumuranku berdiri tepat didepan kafe. Rambutnya yang berembun karena terkena buliran air hujan terlihat segar, namun wajahnya tampak menyeringai menahan sakit. Kupandangi pemuda itu berkali - kali, dan dari tangan yang terbalut jaket hitam itu aku melihat darah menetes keluar. Betapa kasihan melihatnya yang setengah kebasahan, sepertinya Ia tengah terluka.

"Kamu baik – baik saja?" kutepuk pundaknya dan iapun kaget bak diintai musuh.
"Ah,kau mengagetkanku." teriaknya sambil menghela nafas.
"Tangan kamu terluka?" tanyaku mulai ingin tahu.
"Ah, tidak.. tidak sedang terluka." ia berusaha menyembunyikan tangannya lebih dalam ke jaketnya.
"Tapi itu ada darah keluar dari balik jaketmu, tanganmu terluka?"
"Ah, ternyata kau melihatnya. Iya. Hm tadi barusan jatuh didekat situ."
"Kenapa dibiarkan? itu harus dicuci bekas lukanya, ayo ikut aku ke dalam."
"Ikut denganmu?"
Tanpa banyak kata, kutarik tangan dingin itu masuk ke kafe tidak ada perlawanan darinya seolah mengiyakan saja mauku. Sebelum kuobati kucuci tangannya di wastafell kafe. Dari bentuk lukanya terlihat Ia baru saja memukul sesuatu, tapi dalam benakku itu bukan menjadi urusanku. Kubawa pemuda itu kemejaku dan kuperban lukanya meski menggunakan sapu tangan.

Selang berapa saat terjadi perbincangan diantara kami dan mulai ku ketahui tentangnya. Namanya adalah Arda, dia salah satu pengajar musik di sebuah yayasan, meski terlihat dandanannya asal – asalan, namun sangat pas dibadannya yang kurus dan tinggi ditambah ia sangat menyenangkan. Baru sebentar saja kami saling bercengkrama aku bisa langsung menyukainya. Matanya, senyumnya, cara berbicaranya tulus sekali.

"Ibu, apakah seperti ini cinta itu? Apa aku telah jatuh cinta? "
"kenapa Naomi? Tanpa sadar Arda memperhatikanku yang diam – diam sejak tadi mulai mengamati setiap jengkal wajahnya.
"Tidak apa – apa Arda. Ehm aku harus pulang." elakku mencoba memalingkan pertanyaan Arda.
"Biar aku antar ya. Sebagai tanda terimakasih." ku jawab permintaannya dengan menganggukan kepala tanda aku mengiyakan permintaan Arda.
Semenjak kejadian tersebut, durasi bertemu dengan Arda menjadi sangat sering, tanpa tersadar aku benar – benar merasakan ada keganjalan dihati ini. Menjadi sering memikirkannya, apalagi jantung ini yg berdetak lebih kencang layaknya kelinci yang melompat – lompat kegirangan jika berada didekatnya.

"Ibu, aku benar – benar telah jatuh cinta. Kujatuhkan hatiku pada Arda. Aku benar – benar terbawa dalam kedalaman perhatiannya dan juga ketulusan sikapnya. Ibu aku tidak bisa menahannya, apakah ini cinta pandangan pertama itu?"

kurebahkan badanku pada kasur empukku, kupandangi foto kusam yang semenjak tadi kupegang, diluar sana masih terdengar bunyi gemericik hujan yang mengetuk - ngetukkan dirinya diantara genting dan dahan. Beranjak aku bangun dan kuambil pena beserta secarik kertas.

"Ibu, kini aku sudah tumbuh dewasa, Ayah meski kau tidak berada disampigku dan memelukku aku bisa menjaga diriku dengan baik. Terimakasih untuk tangan yang telah mendekapku. Dari anakmu, Naomi."

Ku pungkasi surat yang baru saja kutulis dan kulipat dalam sebuah amplop lengkap dengan perangkonya. 

Kini pagi mulai menyibak, namun mentari terlihat masih enggan menampakkan sinarnya. Sisa air hujan semalam masih membekas direrumputan dan disela sela ranting. Mega yang gelap menuntunku mengrimkan surat – suratku untuk Ayah dan Ibu kesebuah peraduan. Disana kulihat telah ada yang berdiri tegap yang kuyakini itu Arda. Ya, aku dapat mengenali punggung bidang itu. Sedang apa dia di tempat ini? Apakah ia juga ingin mengirim surat? Namun kepada siapa?

"Arda?" sapaku agak terkejut melihatnya

"Naomi?"

"Apa yang kau lakukan dengan surat – suratku?" tanyaku memburu kepadanya.
"Jadi kamu yang menulis surat – surat ini?"

"Iya!" jawabku singkat sambil kuambil beberapa surat dari tas hendak kumasukkan ke tempatnya.
Namun Arda mencegah tanganku

"Kenapa kamu lakukan itu? Naomi, Ayah dan Ibu kamu sudah tenang disana, hentikan melakukan hal seperti ini. Ini hanya akan membuat beliau sedih!"

"Aku hanya melampiaskan rinduku Arda. Apa salahnya dan apa urusan kamu?" kubentak Arda dengan lantang, namun tiba - tiba saja Arda mendekap tubuh mungilku, ia memelukku erat, jemarinya mengelus rambutku mencoba menenangkanku.
"Dimana letak salahku Arda? Salahkah kukirim semua surat ini untuk Ayah Ibuku disana? Aku tak punya siapapun Arda." Pelukan itu malah semakin erat mengunci tubuhku, hingga bisa kurasakan degup jantung Arda, sungguh aku tak pernah berfikir setelah kecelakaan 5 tahun yang lalu ada tangan yang mendekapku dengan hangat lagi. Apa ini jawaban atas doaku? Tuhan mengirimkan malaikat yang telah memelukku sekarang ini.

"Aku selalu datang kesini dan membaca surat – suratmu Naomi, dan semenjak itu aku sangat ingin bertemu dengan orang itu, tapi aku tak pernah mendapatinya. Kau tahu aku sudah berjanji untuk menjaganya, melindunginya, dan akan selalu bersamanya. Karena aku dapat merasakan kesedihannya." 

tak terasa buliran air mata yang semenjak tadi kutahan dalam - dalam akhirnya ambrol juga, perlahan kubalas pelukan Arda dan kutenggelemkan wajahku dipelukannya.

"Kamu tidak sendirian Naomi, aku sama denganmu malah lebih parah. Ayahku terpidana korupsi dan ibuku... "

"Ibumu kenapa Arda?" perlahan Arda melepaskan pelukannya. Matanya nampak kosong mentap jauh ke sudut permukaan bukit, Arda yang tadi terlihat begitu kuat tiba – tiba menjatuhkan tubuhnya, airmata yang disembunyikannya rapat – rapat sudah jatuh bergulir mengalir dipipinya. Kudekati dan kuhapus air mata itu.

"Kata orang orang Ibuku tidak waras Naomi, sekarang Ibuku tinggal dirumah sakit jiwa. Sejak Ayah masuk penjara Ibu menjadi stress dan depresi. Kata Dokter Ibu harus dirawat disana."

"Ternyata kisah hidup kamu lebih rumit ya Arda." Aku yang berada didepan Arda kini beralih duduk disampingnya dan kita saling bersandar. Tak kusangka orang yang terlihat kuat bisa bersedih. Tak kusangka Arda bisa menangis walau ia selalu nampak menjadi pahlawanku.

Tiba – tiba kurasakan tangan Arda gemetar, aku yang terkejut lalu menatap dalam kewajahnya.
Kulihat Arda tampak pucat, dan keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tangannya menggenggamku erat.

"Naomi kita pulang sekarang ya." pinta Arda tampak menahan sakit dan mencoba berdiri, namun sedikit tersungkur dan aku memapahnya. Aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya. Ia tampak sangat tidak sehat, wajahnya benar benar seperti kapas. Pucat. Kucarikan Bis dan kuajak pulang.

"Arda kamu kenapa? Apa kamu baik baik saja? Mana yang sakit?" tanyaku tanpa henti menghawatirkannya, namun Arda seolah tak menghiraukanku. Seluruh badannya dingin, ia menahan sakit sambil menggigit tanganya hingga berdarah. Kurengkuh Arda dibangku paling belakang dan segera kuantar dia pulang.

Begitu sampai rumah kupanggil kakaknya dan kubawa Arda kekamarnya. Kulihat kakaknya membawakan obat dan meminumkannya. Ardapun tampak tenang dan tidur.

"Maaf Kak, Arda sakit apa?" kakaknya hanya diam dan menangis sambil mebuang obat itu. Aku yang kaget seketika tersudut diam dan memunguti obat itu.

"Jangan ambil obat itu!!!" teriak kakak Arda.
"Kenapa kak? Suaraku sedikit terbata bata melihat emosi kakak Arda.

"Obat itu yang membuat Arda seperti itu. Lihat Arda seperti orang bodoh, dia dikendalikan oleh obat – obatan terlarang itu!" mendengar kata "obat terlarang" aku bagaikan disambar petir bertubi – tubi, nafas ini menjadi sesak, suara ini terasa enggan keluar, seperti tersedak buah nanas yang berduri. Tubuh ini rasanya sangat lemas.

Kuhampiri Arda ditempat tidurnya. Kupandangi wajah melas itu dan tak henti menggenggam tanganya yang telah terbalut sapu tangan dariku untuk kedua kalinya. Dalam relungku bertanya mengapa? Seakan aku tak percaya bahwa orang yang kusukai menggunakan obat terlarang itu.

"Hai Arda.. " sapaku kepadanya saat melihat ia mulai membuka matanya.
"Naomi? Aku... aku minta maaf."
"Maaf?" bagaimana keadaanmu?" ku usap lembut keningnya dan kueratkan genggaman tanganku yang sejak tadi dipeganginya.
"Tangan kamu masih sakit? Lain kali jangan lakukan itu lagi ya?"
"Maaf Naomi, inilah aku, aku buruk. 3 tahun silam aku menggunakannya hingga detik ini aku tak bisa menjauhinya. Hidupku sudah tidak terarah ketika 3 tahun yang lalu keluargaku bernatakan. Hanya ini yang menenangkanku."

"Jadi apa yang kau pukul waktu pertama kita bertemu?"

"Kaca didekat kafe itu. Maaf pertermuan kita buruk dan lebih buruknya aku tidak memberi tahumu.
Obat itu sudah meracuniku." aku hanya mencoba tersenyum saat Arda menatapku, aku tahu apa yang ia pikirkan. Ia pasti mengira aku jijik dan membencinya, namun hati ini masih mengatakan aku menyukainya.

"tidurlah, kau harus banyak istirahat!" pintaku kepadanya sambil kutarik selimut untuk menghangatkannya.

"Aku pulang ya? Besok aku kesini lagi. "
"Kau marah padaku? Tanya Arda yang untuk kesekian kali merengkuh jari – jari mungilku
seakan takut aku tinggal.

"Marah? Bagaimana bisa aku memarahimu? Kau ini orang yang kebal dimarahi. Iya kan?" ku tarik hidung mancung Arda untuk menghiburnya.

"Terimakasih Naomi. Ini sudah malam, tidurlah dikamar sebelah dan pulanglah besok pagi. Aku tidak bisa mengantarmu pulang."

"Kalau begitu aku disini saja. Kau tidur sana. Biar aku menjagamu." aku lalu duduk disamping Arda.
"Tidak. Aku tidak perlu dijaga. Kau ke kamar sebelah saja ya dan lekas tidur." mendengar Arda meminta dengan lembut aku tidak bisa mengelak. Aku segera bangkit dan tidur dikamar sebelah Arda. Meskipun aku berpura pura tenang, namun aku tidak bisa membohongi bahwa aku mengkhawatirkannya.

Dan ternyata kekhawatiran itu benar terjadi, belum sampai 2 jam aku meninggalkannya sudah terdengar suara Arda yang meraung kesakitan. Bergegas kuberlari ke arah pintu Arda, namun tangan ini serasa tak sanggup hanya sekedar mendorong gagang pintu. Tubuh ini seakan lemas, kedua kakiku tidak bisa tegak berdiri, sedangkan teriakan Arda semakin kencang memanggil namaku dan juga kakaknya. Hanya sekejap saja tubuhku sudah tersungkur sambil memegangi gagang pintu mencoba menahan agar Arda tidak keluar, namun kulihat kakaknya hendak masuk membawakan obat haram itu lagi. Ku rebut obat itu dan kubuang.

"Jangan berikan lagi pada Arda kak. Kasihan." setelah cukup tenaga kubuka pintu kemudian mengambil kunci lantas kukunci rapat – rapat Arda dari luar, sedang Arda memohon – mohon padaku. Air mata ini sudah tak terbendung lagi, semua pertahanan ini serasa tak cukup. Dengan segala kekuatan yang masih tersisa aku masuki kamar Arda. Kulihat ia termenung disudut, begitu berantakan terlihat ia menahan sakit teramat dalam, obat itu sudah merasuki seluruh darinya.

"Naomi?" Arda mencoba mendekat padaku dengan berjalan sempoyongan.
"Naomi, obat itu Naomi. Tolong.. " teriak Arda sambil memegangiku. Cengkramannya begitu kuat ditanganku. Oh Arda, apa yang terjadi padamu? Kenapa? Kenapa harus melihatmu tersiksa begini?
"Aku tidak akan memberikan obat itu lagi Arda, kamu harus sembuh."
"Tapi Naomi."

"Kamu harus berjuang Arda, demi aku. Kamu sudah berjanji untuk menjagaku kan? Bagaimana bisa kamu menjagaku kalau kamu saja tidak bisa menjaga tubuhmu?"

''Aku memang tidak bisa Naomi. Karena aku bukan malaikat, aku juga bukan Tuhan. Aku manusia biasa. Mengertilah! Teriak Arda dihadapanku bersama rembesan air yang mengumpul dimatanya, sedang aku semenjak tadi hanya bisa menangis bahkan serasa aku tidak kuat lagi untuk mengeluarkan airmata ini. Rasa kaesal, sedih, marah semua bergulat memenuhi rongga ini. Ingin kuberi cacian kepada orang didepan ini. Orang yang kusayangi, yang kukasihi, namun lagi – lagi rasa sayang ini mengalahkan segalanya.

"Dan satu lagi Naomi, kamu bukan siapa – siapa. Kamu bukan keluargaku, tidak perlu kamu bersikap seperti itu."

"Yang aku inginkan hanya melihatmu sembuh Arda, karena aku... aku menyayangimu." dengan sisa kekuatan kuungkapkan apa yang selama ini kupendam diiringi derasnya airmataku, perasaan yang tak pernah Arda ketahui. Perasaan yang teramat dalam kepadanya.

"Mengertilah Arda, aku benar – benar menyayangimu. Aku mempedulikanmu. Aku hanya ingin kamu sembuh. Hanya itu. Berjuanglah!"

"Kau menyayangiku? Sungguh Naomi?" Aku hanya menganggukkan kepala, karena aku tidak kuat lagi untuk berbicara banyak. Arda kembali merengkuhku, bisa kurasakan tubuh lemasnya memelukku membuatku hampir tersungkur namun aku tahan agar Arda tidak terjatuh.

"Aku akan sembuh Naomi, aku berjanji akan sembuh untuk orang yang kusayangi. Terimakasih untuk kamu yang tidak membenciku, terimaksaih Naomi" seperti mendapat sedikit cahaya terang diantara kegelapanku saat kudengar Arda mengatakan hal itu. Sungguh aku kagum kepadanya yang ingin berubah. Tidak sia – sia usahaku untuk tidak membenci dan mencacinya.

                                      *********

Terimakasih Arda, seperti apapun kamu jangan pernah khawatir. Aku selalu disini bersamamu, menemanimu dan menjadi teman hidupmu. Menjadi manusia yang selalu ada saat kau marah, kau senang, kau sakit, bahkan saat obat – obat itu kembali meracunimu, aku akan selalu berdiri untuk membantumu bangkit dari keterpurukan itu.

Ayah, Ibu.. ini aku Naomi. Kukirimkan surat terakhir ini bersama Arda. Ayah, Arda adalah sosok seperti Ayah, Ia kuat, Ia tegar dan selalu memelukku saat aku takut sendiri. Ibu, aku telah mengerti sekarang bahwa jatuh cinta itu sangat indah apalagi mencintai kekurangan seseorang dan telah kujatuhkan hatiku kepada Arda sejak saat pertama kita bertemu.

Ayah, ibu sekarang akan kujalani hidupku bersama Arda, hari ini aku akan mengantarnya kerehabilitasi. Semoga Arda bisa menjadi manusia baru.
Terimakasih Ayah, Ibu.  Dari Anakmu, Naomi
"Naomi, kita berangkat sekarang?" suara lembut Arda memanggilku segera kupungkasi surat ini dan kumasukkan ke amplop.
"Iya Arda, kita mampir ke pos ya?"
"Pos?"
"Iya, pos surat untuk Ayah dan Ibuku. Pos surga!"
"Iya sayang."
Hari ini adalah hari terakhirku dikota ini. Selanjutnya aku akan pindah bersama Arda sembari merawatnya selama ia harus direhabilitasi. Tentang artikelku? Tentu saja sudah aku selesaikan dengan rapi, dan baik, pak Sofyanpun sangat menyukainya. Ya, artikel itu bercerita tentang keajaiban cinta, dimana cucu Adam dan Hawa dipertemukan dan disatukan dengan berbagai keadaan dan itu adalah ceritaku bersama Arda.
Terimakasih Arda, kau telah mengajariku untuk ikhlas dan mencintai segala kurang lebihmu.
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. gOOneman - All Rights Reserved
Website Created by Waroenk Blog
Proudly powered by Blogger